Kamis, 13 Maret 2008

Anggaran Halal

Ekky, kuli tinta dari Majalah Nebula (majalah khusus alumni ESQ), tak bosan-bosannya mengamati etalase rumah makan di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia mencoba mengamati sebuah stiker yang selalu terpampang di etalase rumah makan yakni stiker halal dan non halal.Di sela-sela training ESQ bagi Petronas, baru-baru ini, “Nebula” dan “PR” melakukan “pusing-pusing” (jalan-jalan) termasuk mengamati jaminan halal. Sejumlah tempat makan seperti di Sungai Wang, Stesen Sentral, Petailing Street, Genting Highland, dan lain-lain “disurvei” sekadar melihat cap jaminan halal dan non halal.Stiker halal dengan tulisan latin disertai Bahasa Arab selalu terpampang di rumah makan yang menyajikan menu halal. Demikian pula stiker non halal sudah pasti menjadi pantangan bagi Muslimin untuk mendatanginya apalagi mencicipi makanan tersebut.Apabila di negeri jiran kesadaran kehalalan produk sudah terbentuk, maka di kita sering terjadi upaya “memanipulasi” jaminan halal. Tak heran apabila Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar pernah merilis adanya 100 rumah makan yang mencantumkan kata halal, padahal belum diverifikasi LPPOM MUI.Usia LPPOM MUI yang sudah 10 tahun juga belum bisa berbuat banyak sehingga produk yang mendapatkan sertifikasi halal kurang dari 10 persen. Kendalanya proses mendapatkan sertifikasi halal harus “swadaya” dengan mengalokasikan anggaran sendiri. Tak heran apabila sebagian besar produk makanan, minuman, dan kosmetika koperasi, usaha kecil dan menengah (KUKM) belum dilengkapi sertifikasi halal. Ya, mereka tidak memiliki “dal pees du” alias duit. Tapi, jangan sampai mengatakan sertifikasi halal adalah “UUD”, ujung-ujungnya duit.Keberpihakan pemerintah daerah pun belum terlihat sehingga sampai kini belum ada anggaran dalam APBD untuk mengatrol kinerja LPPOM MUI. Operasional LPPOM MUI didanai dari “ashabah”, sisa anggaran dari perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikasi halal.Demikian pula dengan pembangunan laboratorium mini LPPOM MUI Jabar dengan memanfaatkan ruangan kecil di lantai II gedung MUI Jabar Jln. LLRE Martadinata. Laboratorium tersebut masih amat sederhana sebatas pengujian kualitatif belum kuantitatif.Entah sampai kapan kaum Muslimin (masyarakat dan pejabat) hirau dengan kehalalalan produk yang berdampak kepada “kehalalan” dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kalau kehalalan produk juga disepelekan bagaimana dengan kehalalan “fulus” yang masuk kantong? Sering kita berprinsip “ma fi fulus manfus” (tidak ada uang akan mati), tanpa peduli dengan “cap” halal dalam memperoleh dan membelanjakannya.Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: