Kamis, 13 Maret 2008

Fatwa Resapan Air

SIAPA bilang Islam tak bisa menjadi solusi karena dicap ketinggalan zaman? Bahkan, alim ulama ini NU yang kerap disebut tradisional ternyata merespon dengan baik setiap perkembangan masyarakat melalui forum bahtsul masail (pembahasan masalah aktual). Seperti dalam bahtsul masail rutin yang diadakan Yayasan Assalaam di Gedung Majelis Taklim Assalaam Jln. Sasakgantung N0.16, baru-baru ini. Hadir Wakil Rais PC NU Kota Bandung, KH. M. Tajuddin Subki; Katib Syuriah PC NU Kota Bandung, KH. Asep Syarif Hidayat, Wakil Katib Syuriah, KH. Lukman Hakim; Ketua Yayasan Assalaam, KH. Habib Syarief Muhammad Al Aydarus, dan ratusan kaum Muslimin se-Bandung Raya.Masalah yang dibahas juga cukup unik yakni hukum membangun di daerah resapan air. Alim ulama yang hadir sepakat mengharamkan pembangunan di daerah resapan air karena akan membuat lingkungan makin rusak. Bahkan, alim ulama juga sepakat membangun di daerah resapan air sebagai tindakan zalim sehingga harus dihentikan.Bukan hanya Alquran, hadis, maupun kitab kuning yang menjadi maraji’ (rujukan) melainkan juga data-data terbaru dari media massa. KH. Habib Syarief Muhammad memaparkan kondisi pada tahun 2010 penduduk bumi diperkirakan mencapai 7 miliar jiwa sehingga kebutuhan terhadap tanah dan air makin tinggi. Saat ini di Indonesia kerusakan hutan mencapai 6 juta hektar per tahun atau enam lapangan sepak bola per menitnya.Indonesia memiliki indeks ketersediaan air 16.800 meter kubik per kapita per tahun dan diperkirakan ketersediaan air terus menurun hingga mencapai angka 9.200 meter kubik/tahun. “Penurunan tersebut salah satunya diakibatkan mutu lingkungan hidup yang makin rusak sehingga sumber-sumber air mengering,” katanya.Bahkan, KH. Muhammad Tajuddin Subki menambahkan fatwanya dengan menyatakan membangun di daerah resapan air bukan hanya haram melainkan juga zalim dan berdosa. “Allah telah memberikan rezeki berupa air sekaligus perintah agar manusia menjaga sumber air dengan tidak merusaknya,” katanya.Karena sangat pentingnya pemeliharaan sumber air dan wilayah resapan air, maka Nabi Muhammad menyatakan sedekah utama adalah air. Karena air dibutuhkan setiap mahluk, maka Sahabat Sa’ad bin Ubadah membangun sumur yang menjadi sumber air bagi masyarakat.Mengeksploitasi lingkungan yang bukan peruntukkan seperti membangun rumah di resapan air, menurut Kiai Tajuddin, bisa menyebabkan hilangnya kekuatan bumi untuk menyimpan air. Dampak lebih jauh terjadi kerusakan seperti banjir dan longsor. Tindakan zalim membangun di resapan air yang berarti pelakunya berdosa besar.Masalahnya, apakah pengusaha, pemerintah, dan masyarakat luas masih mendengar fatwa alim ulama? Kalau hukum positif tidak lagi ditegakkan seharusnya fatwa bisa menjadi solusi minimal perusak lingkungan takut dengan dosa dan bencana.Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Rebutan “Makanan”

DALAM banyak hadis, Nabi Muhammad dengan gamblang menggambarkan kondisi umatnya masa depan. Umumnya kalimat hadis itu adalah “suatu saat nanti umatku...” misalnya Nabi Muhammad memprediksikan umatnya akan menjadi semacam makanan yang direbut dari segala arah.Kiai muda mantan ketua Ansor Jabar, KH. Dr. Ali Anwar, memaknai hadis itu seperti kondisi umat Islam saat ini. Di seluruh dunia nasib Muslimin kurang baik, diperebutkan dan dihantam dari segala arah. Demikian pula di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir umat Islam hanya menjadi rebutan partai politik. Setelah umat bisa dirayu dan menyalurkan suaranya, maka umat ditinggalkan laksana mendorong mobil mogok.Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persis, KH. Shiddiq Amien, di sela-sela pengajian bulanan di rumah H. Andi Sugandi, baru-baru ini, juga menyiratkan kekhawatiran sama. Dengan adanya sistem pemilihan langsung seperti dalam Pilkada dan pemilihan presiden membuat partai politik berrebut pengaruh dari ormas-ormas Islam. Persis sendiri sudah didatangi banyak partai dengan dua partai yang serius yang “meminangnya” yakni PPP dan PBB. Saat ini ormas-ormas Islam yang memiliki yang berakar ke massa seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), dan ormas lainnya menjadi rebutan partai politik.Kasus menarik dalam tubuh Persis. Diakui atau tidak, Persis memiliki dilema dalam mengarahkan suara jemaahnya baik dibebaskan sesuai dengan pilihan jemaah atau diarahkan oleh PP Persis. Ada plus dan minus apabila jemaah Persis bebas memilih partai maupun PP Persis mengarahkan ke salah satu partai seperti terjadi dalam beberapa kali Pemilu.Dalam pemerintahan Orde Baru ketika hanya ada tiga partai, maka PP Persis mengarahkan suara umatnya ke PPP. Model politik Persis ini tidak bisa ditemui di partai-partai lain karena umumnya ormas Islam membidani dulu lahirnya partai baru mengarahkan suaranya.Kemungkinan besar PP Persis akan tetap mengarahkan suara jemaah Persis ke salah satu partai seperti yang terjadi pada Pemilu dan Pilpres tahun 2004 lalu. Apakah PP Persis tetap membidik PBB yang kini menjadi Partai Bintang Bulan atau kembali ke “rumah lama”, PPP? Atau, ke partai lain seperti PKS?Di tengah-tengah kondisi bangsa yang berkiblat ke politik seharusnya ormas-ormas Islam tidak terseret ke dalam lingkaran politik. Umat Islam memang tidak boleh buta politik, tapi tidak boleh juga berpolitik mambabi buta. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Nasib Tanah Wakaf

KETIKA ceramah, Ketua Umum PP Persis, KH. Shiddieq Amin, sering mengungkap keterbatasan dana ormas-ormas Islam dengan sindiran “dal pees du alias duit”. Ya, meski “tidak ada fulus tidak mamfus”, tapi ketiadaan fulus membuat gerak ormas Islam terhambat.Seperti dalam sertifikasi tanah wakaf. Dari 66.817 lokasi tanah wakaf di Jawa Barat baru 52.088 lokasi yang sudah bersertifikat dan 2.282 lokasi m asih proses sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sisanya ada 12.447 lokasi yang belum bersertifikat. Kondisi sama juga terjadi di lingkungan Persis karena baru 35 persen yang sudah disertifikasi dari 2.000 lokasi tanah wakaf.Di mata Kasi Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kanwil Depag Jabar, Drs. H. Cece Hidayat, kesulitan sertifikasi tanah wakaf akibat minimnya alokasi dana bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Di lain pihak, ormas-ormas Islam yang mendapat amanah tanah wakaf juga tidak ada “fulusnya”.“Fulus” cukup berperan penting dalam sertifikasi tanah wakaf karena umumnya warga yang mewakafkan tanah kepada ormas Islam, masjid, atau yayasan pendidikan tidak disertai dengan sertifikat. Penerima wakaf harus membuat sertifikat sendiri, padahal mereka rata-rata tidak memiliki dana. Karena tidak disertifikat akhirnya tanah-tanah wakaf diserobot dan berpindah pemilik.Pelajaran berharga dari kasus tanah wakaf Persis seluas 100 hektar di Lembang dan sekitarnya. Sampai kini tidak jelas nasibnya akibat berpindah tangan untuk perumahan atau fungsi lainnya, tapi Persis tidak bisa menggugatnya akibat ketiadaan bukti tertulis berupa sertifikat.Nasib NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Mathlaul Anwar, dan ormas-ormas Islam lainnya setali tiga uang dengan Persis. Tanah wakaf mereka telantar, tanpa pengamanan berupa sertifikat sehingga rawan diambil alih bahkan oleh keluarga yang mewakafkan. Ayahnya berniat wakaf, tapi anaknya mengambil kembali lalu ormas gigit jari.Padahal, potensi wakaf amat besar apabila dikembangkan dan diberdayakan. Bisa jadi NU memiliki pusat pertokoan, Persis dengan pom bensin, atau PUI dengan rumah sakit modern dengan memanfaatkan tanah-tanah wakaf.Tentu setelah mendapat tanah wakaf dan disertifikat, tugas selanjutnya menggelorakan wakaf tunai (uang). Dari wakaf tunai akhirnya badan-badan usaha milik ormas-ormas Islam bermunculan sebagai “pusat dana umat” sehingga ormas Islam tidak selamanya tergantung “infak” pemerintah.Kalau melihat kinerja Rumah Zakat Indonesia (RZI) atau Dompet Duafa (DD) Bandung seharusnya ormas-ormas Islam kebakaran jenggot. RZI dengan karyawan ratusan orang dan DD Bandung dengan puluhan staf mampu membuat rumah bersalin, poliklinik, dan lain-lain. Sedangkan ormas-ormas Islam yang katanya memiliki massa jutaan bahkan puluhan juta ternyata tak mampu berbuat banyak.Bukan waktunya lagi ormas-ormas Islam sebatas mengklaim jumlah umat. Toh, ormas-ormas Islam belum pernah melakukan sensus umatnya sehingga data yang diberikan juga asal-asalan. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Pengarusutamaan Jender

DALAM sebuah pembicaraan santai, penulis melontarkan pertanyaan kepada seorang teman dari Tegal, Jawa Tengah, karena sama-sama warteg (warga Tegal). Ada yang menyebut Ortega (orang Tegal asli) dan di Soreang dikenal Abrag (anak Bandung rantauan dari Tegal). “Sakiye lagi ramai-ramaine masalah jender. Dingin arane kesetaraan gender, tapi saiki pengarusutamaan jender. Arep ana apa maning ya? (sekarang sedang ramai-ramainya masalah jender. Dulu disebut kesetaraan gender, tapi sekarang pengarusutamaan jender. Mau ada apa lagi ya, red),” kata penulis.Tiba-tiba ia langsung nyeletuk. “Mas, gender iku sing ning gamelan. Memang rika bisa nabuh gamelan?” (Mas, gender itu yang ada di gamelan. Memang kamu bisa memainkan gamelan?, red).Kebingungan yang sama dialami penulis ketika beberapa kali mengikuti seminar perempuan. Rata-rata seminar mereka berjudul “pengarusutamaan jender”. Bahasa apa lagi pengarusutamaan? Awalnya hanya menulis berita apa adanya disertai dengan kebingungan dan rasa penasaran. Setelah bertanya ke beberapa orang ternyata pengarusutamaan merupakan padanan kata dari “mainstream”. Oh gitu toh! Terkesan aneh dan nyeleneh.Nah, soal jender ini suara-suara wanita makin nyaring apalagi setelah ada Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI). Memang dari data Indonesia menduduki peringkat 89 dalam keterwakilan perempuan di legislatif, padahal Afganistan dan Vietnam di urutan 24 dan Singapura ke-66.Bahkan, dengan negara Timur Tengah yang sering diidentikkan dengan “pengharaman” wanita berpolitik ternyata peringkat Indonesia masih di bawah. Namun, peringkat Indonesia lebih baik daripada Malaysia di nomor 103, Jepang 104, dan India 108 Rendahnya keterwakilan perempuan salah satunya disebabkan tidak adanya sanksi bagi partai yang melanggar aturan kuota 30 persen perempuan di legislatif. Realitas politik Indonesia menunjukkan 53 persen pemilih dari kalangan perempuan, namun keterwakilan perempuan di DPR baru 10,7 persen. Sedangkan perempuan di DPRD provinsi 9 persen dan DPRD kabupaten/kota 5 persen, namun di DPD lebih baik mencapai 21 persen. Tapi, sekali lagi pertanyaannnya apakah dengan “bejibunnya” wanita di parlemen akan menaikkan kesejahteraan wanita dan masyarakat pada umumnya?Partai politik juga sering “menggembirakan” perempuan dengan menempatkan banyak calon anggota legislatif, namun di nomor sepatu atau nomor buncit. Namun, jangan sampai kesejahteraan wanita “di-nomor sepatu-kan” atau “di-nomorbuncit-kan” karena rata-rata wakil perempuan di DPR. DPRD maupun DPD lebih banyak “diam adalah emas”. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
PAUD dan PAUL

KETIKA menjadi “santri cilik” di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Nurul Huda, Desa Sidapurna, Kec. Dukuh Turi, Kab. Tegal, penulis terkesan dengan pengajaran ala Alm. Kiai Abdul Halim. Ia berperawakan tinggi besar dan suka bergurau di kelas dengan membawa mata pelajaran “aneh”.Misalnya, saat kelas III MDA, penulis yang masih kelas V SD diajar masalah haid, mengenal macam-macam darah haid, darah penyakit, cara mandi besar, dll dengan membahas kitab tipis berbahasa Jawa. Mungkin saat ini disebut pendidikan seks atau reproduksi sehat (?)Selain itu, penulis juga terkesan dengan perkataan Alm. Kiai Abdul Halim yakni “harus hati-hati memperlakukan orang yang sudah berusia lanjut karena sikapnya kembali seperti anak-anak”. Seperti suka rewel, minta dilayani, atau cepat tersinggung.Pada Rabu ini (13/6) merupakan hari lanjut usia (lansia) yang diperingati dengan perayaan khusus di Gedung Sate diawali dengan jalan kaki 1 Km dari sekretariat Lembaga Lansia Indonesia (LLI) Jabar di Jln. Teratai menuju Gedung Sate. LLI Jabar juga menyerahkan penghargaan kepada lima lansia berusia di atas 80 tahun yang masih aktif dan mandiri.Di mata Sekretaris LLI Jabar dan direktur RS Al Ihsan Baleendah, Prof. Dr. H. Iwin Sumarman, Sp.THT, KAI, lansia dibagi beberapa kelompok yakni pra lansia di atas 50 tahun dan lansia apabila usianya di atas 60 tahun. “Kalau lansia sudah pasti pernah merasakan waktu muda, tapi orang muda belum tentu bisa sampai ke lansia,” katanya tersenyum. Salah satu kelemahan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah adalah kurang memperhatikan “pembangunan” lansia. Minim bahkan tidak ada program pemerintah untuk menjadikan lansia yang sehat, mandiri, dan tetap aktif di masyarakat. Padahal, jumlah lansia di Jawa Barat di atas 5 juta orang dan akan melebihi jumlah balita dalam beberapa tahun ke depan. Kalau khusus anak ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tapi kepada lansia tidak ada Pendidikan “Anak” Usia Lanjut (PAUL)? Cakupan PAUD bisa formal yakni TK/RA dan non formal seperti Posyandu dan pembinaan anak-anak di masjid-masjid. Usia layanan PAUD juga dari sejak anak dilahirkan sampai usia enam tahun karena dianggap sebagai masa keemasan (golden age).Kalau pun ada PAUL sebatas pendirian panti jompo/panti wreda dengan dana dari Depsos dengan jaminan lahir batin 100 persen sampai lansia itu meninggal dunia. Tapi, bagi LLI Jabar lansia di panti jompo bukan termasuk lansia yang mandiri, produktif, dan aktif di masyarakatnya. Ketiadaan PAUL apakah dikarenakan “anak-anak” lanjut usia sudah kehilangan masa keemasannya? Bahkan, lebih tragis apakah habis manis sepah dibuang apalagi lansia kerap merepotkan sanak keluarganya? Padahal, setiap diri pasti akan menjadi lansia tidak mengenal jabatan, harta, maupun pendidikannya. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
BAZ Melibas

SUDAH enam bulan ini muncul semangat, gairah baru di kepengurusan Badan Amil Zakat (BAZ) Kab. Bandung. Bukan sekadar adanya Perda Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) , Peraturan bupati (Perbup), atau komando membayar zakat yang langsung dari orang nomor satu di Kab. Bandung melainkan semangat menyelamatkan kekayaan umat.Ya, zakat intinya bukan hanya distribusi kekayaan atau membantu masyarakat kurang mampu melainkan untuk membersihkan harta dan menyelamatkannya. Maka, tak heran apabila perintah zakat berbunyi “Ambillah dari sebagian harta mereka untuk membersihkan dan mensucikannya”.Dengan kenyataan seperti itu, maka wajar apabila dana ZIS yang terkumpul di BAZ Kab. Bandung sudah mencapai sekitar Rp 400 juta. Sebagian besar adalah ZIS dari PNS Kab. Bandung mulai dari bupati, wabup, kepala dinas/kantor/badan, maupun para camat dan wakil rakyat.Demikian pula dengan distribusinya yang sudah mulai dilakukan dari membantu korban bencana alam longsor di Cipatat, banjir Baleendah dan Dayeuhkolot, maupun menyantuni masyarakat lainnya. Rencananya, dalam waktu dekat ini juga disalurkan untuk beasiswa guru-guru madrasah ibtidaiyah (MI) honorer sekolah yang kesejahteraannya masih memprihatinkan.Untuk menuju BAZ yang amanah dan profesional, BAZ Kab. Bandung sudah berupaya mengangkat staf khusus di sekretariatnya, Wisma Haji Soreang. Pengangkatan pengurus juga dari seleksi ketat secara terbuka termasuk pengurus BAZ-BAZ kecamatan.Dalam hal pengelolaan ZIS ini, BAZ Kab. Bandung jangan malu belajar kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) “swasta” seperti Rumah Zakat Indonesia (RZI) Yayasan Dana Sosial al Falah (YDSF), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), maupun Dompet Duafa Bandung (DDB). Mereka maju karena bersikap amanah, profesional, dan terbuka dengan tidak segan-segan mengungkap kiprahnya.Bahkan, penggunaan dana LAZ kalau mau jujur lebih bersikap “pamer”, tapi langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Misalnya, ambulans gratis, rumah bersalin gratis, beasiswa, pemberdayaan ekonomi pedagang kecil, maupun pengobatan massal dan pembagian sembako. “Riya” dari LAZ-LAZ bermakna positif untuk menggali ZIS sekaligus LPJ (laporan pertanggungjawaban) dana umat.Perbaikan citra BAZ harus segera dilakukan yang salah satunya dengan cara “pamer” seperti kiprah LAZ-LAZ. Bisa saja BAZ Kab. Bandung bekerja sama dengan BAZ kecamatan membuat ambulans gratis di 11 wilayah (eks pembantu bupati), pengobatan gratis dengan Puskesmas, maupun membuat rumah bersalin gratis karena tingkat kematian ibu dan anak di Kab. Bandung masih tinggi.Tentu sikap birokratis yang selama ini masih menghambat kinerja BAZ perlu disisihkan. Umat menunggu kiprah BAZ dan tidak mau tahu alasan internal BAZ seperti belum ada persetujuan atau menunggu pengesahan program. Toh, program selama setahun bisa dirancang termasuk program penanganan darurat (bencana alam).Dengan “pamer” positif itu, maka pembayar ZIS bisa merasakan dananya termanfaatkan dengan baik. Lebih dari itu, BAZ Kab. Bandung bisa mulai melibas kemiskinan dan ketertinggalan umat. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Fatwa Trafficking

TAK jarang muncul anggapan kalau ajaran Islam tak bisa menjawab tantangan zaman, terlalu kaku sehingga tidak bisa menjadi solusi. Jawaban terhadap “gugatan” itu seharusnya bisa dimainkan oleh ormas-ormas Islam apalagi memiliki lembaga khusus.Seperti Nahdlatul Ulama (NU) dengan “bahtsul masail” (pembahasan masalah), Persis dengan “Muhabatsah” (pembahasan juga), Muhammadiyah oleh Majelis Tarjih, dan lain-lain. Sayangnya lembaga-lembaga itu jarang digunakan sehingga fatwa yang keluar lebih banyak dari individu kiai/ustaz melalui pengajian atau ceramah sehingga kurang mendalam dan tak mewakili suara ormas.Salah satu “bahtsul masail” yang cukup menarik saat Pengurus Cabang (PC) NU Kota Bandung mengeluarkan fatwa pengharaman praktik penjualan anak dan wanita (trafficking) dan adopsi sebagai anak kandung. Tapi, saat membahas hukum Alquran bergambar terjadi debat panjang antarkiai sehingga akhirnya ditunda dan diserahkan ke PW NU Jabar.Pimpinan sidang, KH. Lukman Hakim yang juga wakil sekretaris Syuriah PC NU Kota Bandung, mengakui Alquran bergambar sudah banyak beredar di masyarakat dengan menuliskan ayat-ayat, peta, kartun ilustrasi, maupun cerita. Alim ulama mengkhawatirkan dengan adanya gambar maupun ilustrasi akan mengurangi kesakralan Alquran karena bisa saja kertasnya dipakai untuk pembungkus atau diletakkan di mana saja.Nah, hukum trafficking sebanyak 21 ulama yang hadir sepakat untuk mengharamkannya bahkan dengan alasan darurat sekali pun. Orangtua, masyarakat, bahkan korban trafficking tidak bisa menggunakan alasan darurat seperti krisis ekonomi untuk melakukan trafficking. Menurut alim ulama trafficking belum masuk masalah darurat yang bisa diperbolehkan hukum syara.Bahkan, PC NU Kota Bandung memasukkan trafficking sebagai perbudakan gaya baru, padahal ajaran Islam untuk membebaskan perbudakan. Tentu semua ormas berkepentingan dengan masalah trafficking apalagi NU yang basisnya di pedesaan yang sering menjadi korban trafficking.Sedangkan hukum adopsi, alim ulama sepakat mengharamkan praktik adopsi yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung. Dalam praktik sehari-hari ternyata Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mengeluarkan akte kelahiran atau surat lainnya yang menyatakan anak angkat sebagai anak kandung. Misalnya, Ahmad bin Hambali, padahal Ahmad adalah anak angkat bukan anak kandung Pak Hambali.Dampaknya anak angkat nantinya mendapatkan bagian dari warisan dan orangtua angkat menjadi wali saat anak angkatnya menikah. Padahal, saat Nabi Muhammad masih hidup pernah “dimarahi” oleh Allah akibat menyebutkan seorang anak angkat dengan nama bin Muhammad.Alim ulama membolehkan anak angkat dijadikan anak kandung, tapi anak itu masih kecil dan ditemukan di jalan tanpa mengetahui nama kedua orangtuanya. Namun, ketika nikah maupun membagi warisan statusnya tetap sebagai anak angkat bukan anak kandung. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Anggaran Halal

Ekky, kuli tinta dari Majalah Nebula (majalah khusus alumni ESQ), tak bosan-bosannya mengamati etalase rumah makan di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia mencoba mengamati sebuah stiker yang selalu terpampang di etalase rumah makan yakni stiker halal dan non halal.Di sela-sela training ESQ bagi Petronas, baru-baru ini, “Nebula” dan “PR” melakukan “pusing-pusing” (jalan-jalan) termasuk mengamati jaminan halal. Sejumlah tempat makan seperti di Sungai Wang, Stesen Sentral, Petailing Street, Genting Highland, dan lain-lain “disurvei” sekadar melihat cap jaminan halal dan non halal.Stiker halal dengan tulisan latin disertai Bahasa Arab selalu terpampang di rumah makan yang menyajikan menu halal. Demikian pula stiker non halal sudah pasti menjadi pantangan bagi Muslimin untuk mendatanginya apalagi mencicipi makanan tersebut.Apabila di negeri jiran kesadaran kehalalan produk sudah terbentuk, maka di kita sering terjadi upaya “memanipulasi” jaminan halal. Tak heran apabila Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar pernah merilis adanya 100 rumah makan yang mencantumkan kata halal, padahal belum diverifikasi LPPOM MUI.Usia LPPOM MUI yang sudah 10 tahun juga belum bisa berbuat banyak sehingga produk yang mendapatkan sertifikasi halal kurang dari 10 persen. Kendalanya proses mendapatkan sertifikasi halal harus “swadaya” dengan mengalokasikan anggaran sendiri. Tak heran apabila sebagian besar produk makanan, minuman, dan kosmetika koperasi, usaha kecil dan menengah (KUKM) belum dilengkapi sertifikasi halal. Ya, mereka tidak memiliki “dal pees du” alias duit. Tapi, jangan sampai mengatakan sertifikasi halal adalah “UUD”, ujung-ujungnya duit.Keberpihakan pemerintah daerah pun belum terlihat sehingga sampai kini belum ada anggaran dalam APBD untuk mengatrol kinerja LPPOM MUI. Operasional LPPOM MUI didanai dari “ashabah”, sisa anggaran dari perusahaan yang ingin mendapatkan sertifikasi halal.Demikian pula dengan pembangunan laboratorium mini LPPOM MUI Jabar dengan memanfaatkan ruangan kecil di lantai II gedung MUI Jabar Jln. LLRE Martadinata. Laboratorium tersebut masih amat sederhana sebatas pengujian kualitatif belum kuantitatif.Entah sampai kapan kaum Muslimin (masyarakat dan pejabat) hirau dengan kehalalalan produk yang berdampak kepada “kehalalan” dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kalau kehalalan produk juga disepelekan bagaimana dengan kehalalan “fulus” yang masuk kantong? Sering kita berprinsip “ma fi fulus manfus” (tidak ada uang akan mati), tanpa peduli dengan “cap” halal dalam memperoleh dan membelanjakannya.Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
“Gaptek” Online

KECANGGIHAN teknologi ternyata tak selamanya membantu. Sering teknologi canggih “teronggok” begitu saja akibat manusianya gagap teknologi (gaptek). Kecanggihan komputer teranyar juga cukup dimanfaatkan untuk bermain game atau sebatas mengetik naskah. Tak heran muncul anggapan “manusia kerap menzalimi komputer”. Cuma, komputer tidak pernah mengajukan protes maupun mosi tidak percaya kepada manusia.Nasib ini yang dialami rencana besar Depag untuk membuat Sistem komputerisasi haji terpadu (Siskohat) on-line ke Kandepag kabupaten/kota. Alasanya untuk peningkatan pelayanan dan kemudahan operasional penyelenggaraan haji. Hanya, lebih dari sebulan ini projek tersebut belum berjalan.Dukungan teknologi Siskohat on-line tersebut sudah cukup. tiap Kandepag mendapatkan seperangkat komputer, sebuah kamera, sebuah alat pemindai sidik jari, dan modem untuk on-line ke Siskohat Depag pusat dan Bank Penerima Setoran (BPS) Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).Rencananya, apabila Siskohat itu berjalan baik, maka prosedur pelayanan haji akan berubah. Calon haji (calhaj) akan datang terlebih dulu ke Kandepag untuk dimasukkan data-datanya ke Siskohat, diambil gambar dengan kamera, dan sidik jarinya. Nantinya foto dan sidik jari calhaj akan langsung dimasukkan dalam paspor haji agar tidak ada pemalsuan.Pada tahun lalu, pengerjaan paspor haji masih manual sehingga foto masih di-scan lalu dimasukkan ke paspor sehingga terjadi pemalsuan. Sidik jari calhaj juga baru diambil di asrama haji sehingga proses administrasi di asrama haji makin lama. Sidik jari sebagai tanda pengenal setiap calhaj selain gelang identitas.Setelah urusan di Kandepag selesai, calhaj pergi ke bank untuk membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Calhaj mendapatkan nomor porsi haji yang menentukan berangkat tidaknya ibadah haji tahun ini. Rencana yang seharusnya sudah bergulir 1 April lalu ternyata belum jalan. Akhirnya sampai saat ini calhaj datang langsung ke bank untuk membayar BPIH dan data-datanya ditik petugas bank. Sedangkan Kandepag hanya menerima laporan dari bank dan calhaj tersebut.Padahal, untuk persiapan Siskohat on-line pengorbanan Kandepag kabupaten/kota lumayan besar. Seperti di Kandepag Kab. Bandung, akibat keterbatasan jumlah ruangan sehingga ruangan Siskohat “menggusur” ruangan kerja Kasi Haji dan Umrah, H. Dadi Rusmadi.Hal sama juga terjadi di Kandepag Kota Cimahi yang terpaksa “menyisihkan” ruangan Kasi Pekapontren untuk ruangan Siskohat on-line. Seperti diakui Kasi Urais dan Haji Kandepag Cimahi, H. Cecep Kosasih.Ruangan Siskohat juga harus diberi alas berupa karpet dan bebas dari debu sehingga di pintunya tertulis “alas kaki harus dibuka”.Belum lagi dengan pinjaman (utang) Kandepag untuk pembelian AC dan tralis agar menghindari pencurian. Teknologi canggih memang sering manja dan meminta “dimanjain”. Sungguh sayang apabila Siskohat on-line itu butuh waktu berbulan-bulan lagi agar bisa berjalan efektif. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Khitanan Perempuan

NUANSA khitanan massal di Yayasan Assalaam, Jln. Sasakgantung, pada pertengahan April lalu, sungguh berbeda. Peserta khitanan massal yang berjumlah 150 anak semuanya anak laki-laki, sedangkan peserta perempuan tidak nampak.Ada apa den gan Assalaam? Apakah sudah berubah 180 derajat? Tradisi khitan massal perempuan sudah berlangsung sejak tahun 1948 dan tak pernah terputus sama sekali meski di zaman perjuangan fisik membela tanah air.Ketua Yayasan Assalaam, KH. Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus, yang ditemui juga menyiratkan wajah kecewa yang mendalam. “Mau ibadah kok dilarang. Dalam kajian kitab kuning khitan perempuan masuk kategori sunah bahkan sebagian ulama mewajibkannya,” ujarnya.Setelah diselidiki ternyata penghilangan khitan perempuan tak lepas dari tekanan Population Council (Badan Kependudukan Dunia) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan membuat. Khitanan perempuan dinilai melanggar HAM apalagi Indonesia sudah meratifikasi ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang melarang khitan perempuan.Sebagai dampak dari tekanan itu, maka pada khitanan massal baru-baru ini Assalaam hanya menerima anak laki-laki. Ada warga masyarakat yang membawa anak perempuannya untuk dikhitan, tapi tahun ini ditolak. Padahal, setiap tahun jumlah anak perempuan yang dikhitan hampir dua kali lipat daripada anak lelaki.Dalam kajian fiqhiyah, khitanan perempuan terjadi pro kontra di antara ulama. Namun, secara garis besar pendapat ulama soal khitan bagi perempuan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu yang mewajibkan, sunah, dan kehormatan (mubah). Bagi Assalaam meyakini dengan perempuan dikhitan akan mengurangi perilaku negatif dan membendung nafsu seksual yang berlebihan. Apabila perempuan belum dikhitan juga sulit untuk bersuci dari najis layaknya anak laki-laki.Tentu, kajian fiqhiyah dari Assalaam yang menyetujui khitan perempuan harus pula “dilawan” dengan kajian fiqhiyah pula. Tentu mereka akan “mengalah” apabila ada pendapat yang lebih kuat. Bukan dengan memvonisnya khitan perempuan tidak manusiawi dan melanggar HAM.Larangan khitanan perempuan juga jangan sampai dari ketakutan kepada kebijakan negara-negara Barat yang notabene menjadi “donatur” bagi Indonesia. Dalam masalah ibadah yang diyakini seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia lebih takut kepada Allah daripada kepada negara-negara luar.Seminggu lalu penulis mengkhitan anak kedua usia 34 hari di seorang bidan yang berjalan hanya beberapa detik dan anaknya tidak menangis sama sekali. Apakah tindakan penulis melanggar HAM perempuan? Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Statusnya Samar-Samar

DALAM beberapa tahun terakhir Pemprov Jabar memegang visi dan misi besar “Dengan iman dan takwa menjadi provinsi termaju dan mitra terdepan ibukota tahun 2010”. Tentu tak mudah menggapai tujuan itu karena untuk memahami kata-katanya saja sungguh terasa sulit!Lalu, para pejabat pun melakukan “koor” untuk menggerakkan pembangunan kepada pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 80 poin. Kesalehan sosial pun dikumandangkan sehingga masyarakat makin peduli dan berbagi rasa, raga, dan harta kepada sesamanya.Entah disadari atau tidak setidaknya terdapat tiga lembaga strategis di Jawa Barat yang sampai sekarang statusnya “samar-samar”. Bahkan, kerap diplesetkan “tau ah gelap”. Padahal, tiga lembaga itu cukup strategis dalam menunjang IPM Jabar karena bergerak dalam bidang kesehatan, dakwah/pendidikan, dan kepedulian sosial termasuk mengurangi kemiskinan.Ketiga lembaga itu adalah Pusdai Jabar, Badan Amil Zakat (BAZ) Jabar, dan Rumah Sakit Islam Al Ihsan (RSIAI). Sudah lebih dari setahun ini nasibnya kurang (tidak) diperhatikan.Pusdai Jabar yang diharapkan sebagai garda depan dakwah di Jawa Barat dan contoh bagi pusat-pusat dakwah kabupaten/kota ternyata nasibnya memprihatinkan. Sejak ditinggalkan ketua Pusdai Jabar, Dr. KH. Miftah Faridl, bersama dengan pengurus teras lainnya pada Oktober 2005, maka Pusdai Jabar berjalan di tempat. Bahkan, nyaris sebatas mengelola dan menyewakan Bale Asri.Demikian pula dengan RSIAI di Baleendah meski telah diambil alih Pemprov Jabar sejak 10 Maret 2005, namun statusnya belum jelas. Pihak RSIAI menawarkan empat opsi yakni perseroan, Badan Usaha Milik daerah (BUMD), Badan Layanan Umum (BLU), atau nit usaha di bawah yayasan Pemprov Jabar.Pelayanan dokter dan perawat RSIAI tidak berkurang bahkan jumlah pasien pun semakin bertambah, tapi dengan status belum kelas ibarat status quo. Kewenangan Pengelola RSIAI, Prof. Dr. H. Iwin Sumarman, Sp.THT, KAI, juga tak bisa maksimal sehingga pengembangan RSIAI berjalan lambat.Kalau ketua Pusdai Jabar belum diisi sampai 1,5 tahun dan status RSIAI belum jelas lebih dari 2 tahun, maka status BAZ Jabar lebih memprihatinkan lagi. BAZ Jabar yang kantornya “nyumput” (bersembunyi) di Jln. Tubagus Ismail No. 1 Bandung sejak September 2004 tidak jelas kepengurusannya. Jadi, sudah 2,5 tahun dibiarkan tanpa adanya surat keputusan (SK) pengesahan pengurusnya.Jadi, kapan nih ada aksi nyatamembenahi aset-aset umat? Masih kah perlu waktu tahunan lagi agar status tiga instansi itu bisa “minazhulumat ilannuur” (dari gelap menuju cahaya terang)?Wallahu-a’lam. (Sarnapi)***
Kiai dan Pilkada

ADA ungkapan bernada “heureuy” (guyon) dari Kabid Pekapontren Kanwil Depag Jabar, Drs. H. Sukanda Hidayat. Katanya, ada empat tipe kiai yakni kiai tutur, kiai tandur, kiai sembur, dan kiai catur.Kiai tutur merupakan tipe kiai kebanyakan yang senang berceramah di berbagai tempat, namun tidak memiliki garapan misalnya pondok pesantren. Kiai tandur menghabiskan waktunya di pesantren atau madrasah untuk membina para santri, namun amat jarang ceramah di luar.Tipe kiai sembur merupakan kiai yang suka memberikan “isim” (ajian) maupun tulisan dalam Bahasa Arab yang diyakini dapat memberikan sesuatu. Sedangkan kiai catur bisa jadi “menjual” bidak-bidak caturnya (baca, potensi umat) yang dimilikinya untuk kepentingan politik praktis atau mendapatkan bantuan dari partai politik.Salah satu hal krusial yang sering melibatkan kiai adalah pemilihan kepala daerah apalagi setelah pemilihan dari wakil rakyat (Pilkadawak) menjadi pemilihan langsung (Pilkada). Dampak pilkada menjadikan posisi kiai yang dekat dengan masyarakat dapat menjadi alat menggalang suara.Hanya, sampai saat ini peran ulama kurang diperhitungkan dalam penentuan calon gubernua/calon wakil gubernur maupun calon bupati/calon wakil bupati. Kalau pun ada ulama yang dimintai pendapatnya adalah ulama yang duduk di pengurus partai, sedangkan ulama di kampung-kampung kurang diperhatikan suaranya.Ketua Umum Persaudataan Mubalig Bogor, KH. Syaeful Sardi Djayadi, mengakui peran kiai dalam penentuan calon pemimpin daerah masih terpinggirkan. “Calon kepala daerah memang ditentukan partai politik. Tapi, seharusnya partai juga mendengar masukan-masukan dari berbagai pihak baik pegawai negeri dan swasta, perguruan tinggi, maupun ulama,” katanya.Keinginan ulama untuk lebih bisa menentukan calon pemimpin daerah masa depan bisa dimaklumi. Minimal, ulama harus salat istikharah dan hati-hati ketika berijtihad menentukan calon pemimpin.Apalagi, visi dan misi Jawa Barat diawali kata “Dengan iman dan takwa...” sehingga nuansa agamis perlu dikedepankan. Tentu kepala daerah kabupaten/kota maupun provinsi bukan hanya agamis, namun harus memiliki kreativitas dan jiwa wirausaha tinggi agar memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.Hanya, amat kita sayangkan apabila kiai-kiai menjadi tipe kiai catur. Kita berharap di tengah minimnya tokoh panutan di Indonesia bisa hadir tokoh panutan dari ulama. Seseorang yang paling takut kepada Allah, rendah hati, dan berakhlak baik. Itu lah ulama yang benar-benar ulama! Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Terorisme Lingkungan

BEBERAPA hari ini pemberitaan media massa salah satunya terfokus kepada penemuan “sangkar” yang diduga sebagai kelompok teroris di Sukoharjo, Jawa Tengah. Bunker penyimpanan senjata dan bom rakitan ditemukan oleh aparat berwajib.Tapi, mengapa kita selalu mengaitkan teroris dengan aksi radikal bersenjata? Bom bunuh diri atau ada yang menyebut bom syahid? Kita lupa dengan jenis terorisme baru yang dampaknya lebih bahaya daripada teroris bersenjata.Terorisme jenis baru itu adalah terorisme lingkungan hidup yakni orang atau lembaga yang melakukan perusakan lingkungan. Stempel terorisme lingkungan ini dicetuskan Prof. Dr. H. M. Abdurrahman, dalam pengukuhan guru besarnya di bidang ilmu hadis Unisba, belum lama ini. Perusak lingkungan hidup seperti perambah hutan, pembalakan liar (illegal logging), maupun pabrik yang membuang limbah sesenaknya sudah masuk dalam kategori tindak kejahatan terorisme lingkungan (eco terorism). Tentu, Abdurrahman yang akrab dipanggil Babeh merujuk kepada ayata-ayat Alquran maupun hadis yang melarang umat manusia untuk merusak lingkungan.Cap teroris lingkungan merupakan suatu keniscayaan di tengah degradasi mutu lingkungan hidup. Singkatnya, seperti kondisi Bandung yang ketika kemarau kekeringan dan saat hujan kebannjiran.Dengan merusak lingkungan berarti menyebabkan terganggunya siklus alam, kematian binatang, rusaknya sumber daya air, dan bencana banjir maupun longsor. Padahal, umat Islam berkewajiban memelihara lingkungan selain memelihara agama, diri sendiri, harta, maupun akal pemikirannya.Wajibnya memelihara lingkungan bahkan berlaku ketika kiamat sudah dekat, seperti judul sinetron. Nabi menyatakan seandainya sudah berdiri kiamat dan di tangan salah seorang dari kalian ada benih, maka bila mungkin jangan berdiri dulu sebelum benih tersebut ditanam.Bahkan, ibadah kecil seperti wudu amat terkait dengan lingkungan hidup. Seandainya hutan gundul yang berdampak kepada keringnya sumber air, maka Muslim pun tidak bisa berwudu. Sangat aneh bila nantinya Muslimin Bandung harus bertayamum karena ketiadaan air. Aneh, tapi bisa nyata!Bisa jadi aksi-aksi teroris lingkungan lebih menyengsarakan ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan umat manusia. Orang baik-baik pun terkena bencana apabila lingkungan rusak. Longsor, banjir, maupun kekurangan air tidak akan memilih dan memilah antara warga yang saleh dan warga “salah”.Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Nasib Wong Alit

WAJAHNYA kerap tertunduk. Kerut-kerut ketuaan nampak jelas terlihat. Pria yang akrab disapa Engking (71) ini nampak tegar menghadapi kenyataan cukup pahit yang harus dihadapinya.“Kondisi ekonomi sekarang sungguh susah bagi kami yang pernah berjuang membela bangsa dari tahun 1950 sampai 1960-an,” katanya.Engking ditemui setelah menggelar silaurahmi dengan purnawirawan TNI, warakawuri, dan janda pejuang di rumah Ny. Lala, Desa Campaka Mulya, Kec. Cimaung, Kab. Bandung, belum lama ini. Rekan-rekan Engking yang senasib juga mengungkapkan hal sama.Pejuang bangsa seperti Engking pernah merasakan pahit dan manisnya perjuangan dari mulai memberantas PRRI/Permesta di Sumatera, Kahar Muzakar, sampai berjuang membebaskan Irian Barat melalui Trikora. Hanya, setelah pensiun dari TNI Engking degan malu-malu mengungkapkan jumlah pensiunnya yang hanya Rp 900.000,00/bulan. Bahkan, teman-teman Engking yang sudah ditinggalkan suaminya hanya mendapatkan “warisan” Rp 500.000,00/bulan. Akibat membutuhkan uang dalam jumlah besar seperti menggelar hajatan, maka para pejuang bangsa terpaksa berutang ke bank sehingga uang pensiunnya tinggal separuh bahkan menyisakan ribuan rupiah saja.Di lain pihak, beban hidup makin berat karena harga beras masih di atas Rp 6.000,00/kg sehingga dirasakan mereka sudah amat mencekik leher. Kehidupan yang makin sulit membuat tidak sedikit para pensiun tentara, warakawuri, maupun janda pejuang yang terjerat rentenir. Ketika awal bulan yang mengambil pensiunan ya rentenir. Istilahnya, setiap bulan terkena “penyakit struk” yakni menerima “struk gaji”, sedangkan uangnya sudah diembat rentenir.Nasib memprihatinkan tersebut juga menimpa mantan atlet, mantan PNS, dan mantan-mantan lainnya. Karena tak kuasa menghadapi hidup, maka beberapa minggu lalu media massa ramai memberitakan seorang juara tinju yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.Tentu Engking dan “para mantan” serta wong alit (rakyat kecil) lainnya hanya bisa mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib rakyat kecil termasuk pensiunan tentara dan warakawuri yang pernah berjasa untuk negara. Dalam pandangan Engking yang hidup di desa, pemerintah sekarang ini lebih mementingkan politik, sedangkan nasib rakyat kurang peduli. Maka, wajar apabila kebijakan pemerintah lebih condong ke politik sehingga masyarakat kurang diperhatikan. Bukan kah ada sebuah APBD kabupaten di Jabar berjumlah Rp 1,5 triliun, namun Rp 900 miliar habis untuk belanja pegawai dan DPRD yang jumlahnya kurang dari 40 ribu orang? Sedangkan penduduk kabupaten itu yang berjumlah 4 juta hanya kebagian Rp 600 miliar!Apabila keberpihakan alokasi anggaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota belum kepada belanja publik (masyarakat), maka wajar apabila terjadi kerusakan jalan, sekolah ambruk, pelayanan kesehatan tidak memadai, dan lain-lain. Sudah saatnya pemerintah lebih berpihak kepada masyarakat dan tekad ini tidak sebatas hiasan lidah atau “lem” pengikat ketika kampanye. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Sorotan ekonomi
Duh...Koperasi

ADA “keganjilan” di usaha yang dijalankan Pesantren Al-Mukhlashin, Kec. Cangkuang, Kab. Bandung. Sebuah usaha untuk memberi makan dan pendidikan bagi santri-santri anak telantar yang penulis bina.Sudah dua tahun terakhir pesantren memiliki usaha foto digital, bingkai foto, dan shooting pernikahan dengan cakupan pemasaran Bandung Raya dan Kab. Garut. Usaha yang awalnya bermodal sebuah komputer, printer, dan sebuah kamera digital kini sudah berkembang pesat. Bahkan, para pemuda pengangguran juga direkrutnya.Nah, “keganjilan” usaha itu dari keengganan pesantren membentuk koperasi pesantren (kopontren) apalagi meminta bantuan pemerintah. Mereka hanya menamakan usahanya “Promubas” (profesional, murah, bagus, dan Anda puas) yang dijalankan secara mandiri.Usaha “Promubas” berbeda dengan cara sebagian orang (anggap saja oknum) dalam mendirikan koperasi. Mereka umumnya membuat dulu lembaga usahanya, sedangkan jenis usahanya belum tahu. Bahkan, sering terjadi mendirikan koperasi untuk meminta bantuan pemerintah.Jiwa wirausaha belum tertanam sehingga koperasi tersebut belum mampu melihat bidang usaha yang prospektif. Dampaknya muncul koperasi-koperasi papan nama yang tidak jelas juntrungannya.Banyaknya koperasi papan nama dikatakan Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kab. Bandung, Drs.H. Adjat Sudradjat, M.Pd, pada Rakerda ICMI Kab. Bandung di Sindangreret Ciwidey, belum lama ini. Hampir 41 persen atau 742 unit koperasi di Kab. Bandung ternyata sudah tidak aktif lagi atau tinggal papan nama. Jumlah koperasi di Kab. Bandung seluruhnya 1.818 unit dengan koperasi yang masih aktif 1.076 unit dan tidak aktif 742 unit. Jumlah 41 persen koperasi yang tinggal plang membuat kita harus berpikir ulang soal koperasi ini.Meski raport koperasi Kab. Bandung tidak selamanya merah karena dari segi anggota sudah mencapai 1,23 juta orang dan modal sendiri koperasi berjumlah 70,1 miliar. Aset koperasi Kab. Bandung mencapai Rp 418,3 miliar dan volume usaha 697,7 miliar.Demikian pula dengan Sisa Hasil Usaha (SHU) mencapai Rp 2,83 miliar dan koperasi yang masih aktif bisa menyerap tenaga kerja 2.897 orang. Hanya, koperasi masih mengalami kendala sehingga banyak yang akhirnya tidak aktif seperti rendahnya kualitas SDM pengelola dan citra koperasi yang belum baik.Selama ini pemberdayaan koperasi ibarat “membago-bagikan” uang bantuan karena hanya sekadar menyalurkan dana APBD tanpa dibarengi dengan pembinaan dan pengawasan bantuan. Untuk itu, MUI Kota Bandung melalui Bidang Pemberdayaan Ekonomi melakukan terobosan berupa pelatihan koperasi syariah seara berkelanjutan.Maksudnya, MUI memberikan pelatihan setiap bulan kepada kader-kader penggerak koperasi syariah di masjid-masjid selama setahun. MUI juga mengawasi proses pemberian bantuan dari Pemkot Bandung sehingga dipergunakan untuk usaha produktif sekaligus berkembang bantuannya bukan berkurang apalagi habis.Pengembangan koperasi perlu pendekatan wirausaha. Kesalahan pemerintah selama ini pendekatan pengembangan koperasi dengan sikap dan budaya birokrat. Wajar bila gagal. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Sorotan agama (3)
"Import" Pejabat

KALAU di dunia usaha dikenal adanya ekport dan import (E/I) barang, maka di kalangan Depag akhir-akhir ini muncul istilah “import” pejabat. Apalagi setelah Kakanwil Depag Jabar dijabat Drs. H. Muhaimin Luthfie,M.M, maka “import” pejabat kian santer.Bisa saja dianggap sebagai hal wajar karena Muhaimin sendiri merupakan orang yang “diimport” dari Irjen Depag pusat untuk menggantikan Drs. H. Iik Makib. Namun, “import” tersebut diiringi dengan “import-import” pejabat lainnya di tingkat bawahnya.Sebut saja Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Depag Jabar yang dijabat orang luar Kanwil Depag, tepatnya “diimport” dari Balai Diklat Depag Jakarta. Hanya, pengisian Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji Zakat dan Wakaf dan Kepala Bidang Urusan Agama Islam (Urais) yang dari internal Kanwil Depag Jabar.Demikian pula dengan pengisian kepala (ka) Kandepag kabupaten/kota yang juga orang-orang “import” dari Kandepag kabupaten/kota lainnya. Sebut saja pengisian Kakandepag Kab. Bekasi oleh Drs. H. Maman Sulaeman yang asalnya Kakandepag Kab. Bogor.Kakandepag Kota Bandung juga sama karena H. Cecep Alamsyah merupakan orang yang “diimport” dari Kab. Tasikmalaya. Kalau skenario berjalan, maka jabatan Cecep Alamsyah sebagai Kakandepag Kab. Tasikmalaya akan diisi oleh orang “import” yakni Kakandepag Kota Banjar.Hal sama juga berlaku bagi jabatan Kakandepag Kota Banjar yang nantinya menurut isu kuat diisi oleh Kasubag Tata Usaha Kandepag Kab. Ciamis. Apakah pola “import” pejabat ini juga berlaku dalam pengisian Kakandepag Kab. Bandung setelah ditinggalkan H. Lili Miftah pada akhir Januari lalu? Apakah pengisian Kakandepag Kab. Bogor juga sama?Sebagai lembaga yang masih vertikal, belum diotonomikan, maka Depag pusat maupun Kanwil Depag Jabar memiliki kewenangan untuk mengisi jabatan-jabatan kosong. “Import” pejabat merupakan sah-sah saja. Kata orang Depag,“Ma fii musykila wa ma fii haramun” (semuanya mungkin dan tidak ada yang haram).Tapi, ada dampak karier sekaligus batin bagi karyawan Depag yang berada di bawah. Mereka sudah merintis karier dari bawah lalu naik menjabat kepala seksi atau urusan sesuai dengan kemampuannya. Ketika ada pengisian jabatan ternyata diisi orang-orang “import”!Belum lagi dengan dampak kasak-kusuk dan main sikut karena kekurangjelasan format pengisian pejabat-pejabat di Kanwil Depag maupun Kandepag. Kalau ada format jelas misalnya Kabag TU, Kabid, atau Kandepag diisi oleh pejabat-pejabat yang berprestasi, sedikit cela, dan cukup pangkatnya, maka tidak terjadi saling gasak dan gesek.Tentu semangat bekerja dan merintis karier dengan baik bisa saja dikalahkan oleh kebijakan atasannya. Tentu kita tak ingin apabila penempatan pejabat “import” itu akibat “3-G” layaknya telefon seluler yakni ganyang rekan, galang duit, dan gunakan dukun! Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Sorotan agama (2)
KUA Kok “Kontraktor”
KALAU menyebut nama Kantor Urusan Agama (KUA), maka terbayang dalam benak kita adalah tempat untuk mengurus pernikahan. Padahal KUA adalah “Depag mini”, tapi fungsi-fungsi lainnya seperti pembinaan haji, makanan halal, keluarga sakinah, dan lain-lain “ditenggelamkan” oleh nikah.Keluhan utama warga masyarakat terhadap KUA umumnya berkisar pada besaran biaya nikah khususnya nikah bedolan. Istilah bedolan karena pihak penghulu (juru nikah) “dibedol” atau “diambil” dari kantornya untuk menikahkan di tempat resepsi sang mempelai.Kalau melihat Perda nikah bedolan, maka biaya nikah amat terjangkau karena di Kab.Bandung sebesar Rp 185.000,00, Kota Cimahi Rp 175.000,00, bahkan Kota Bandung “hanya” Rp 75.000,00! Tapi, mengapa biaya nikah bedolan melonjak sampai Rp 300.000,00 bahkan Rp 500.000,00?Bila masyarakat ingin biaya nikah murah, maka minta lah nikah di gedung KUA sebab biayanya hanya Rp 30.000,00. Bahkan, kalau tidak mau keluar uang sepeser pun ikut lah nikah massal bahkan pengantin diberi berbagai hadiah oleh penyelenggara nikah massal!Soal fulus nikah ini tak lepas dari biaya-biaya di luar Perda nikah bedolan. Misalnya, keluarga mempelai ingin beres saja sehingga urusan surat-surat izin nikah diurus penghulu. Belum lagi dengan biaya transportasi penghulu, honor bagi Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) atau lebai, dan lain-lainTerlepas dari fungsi nikah itu, kondisi gedung KUA kecamatan di Jawa Barat juga masih memprihatinkan. Kondisi KUA hampir setali tiga uang dengan SD-SD Inpres bahkan ada 129 KUA yang gedungnya masih ngontrak.Maka, wajar apabila Kabid Urusan Agama Islam (Urais) Kanwil Depag Jabar, Drs.H. Abdul Azis Fasya, menyebut banyak kepala KUA di Jawa Barat yang menjadi “kontraktor”. Kepala KUA harus mencari gedung atau rumah penduduk untuk dikontraknya!Rata-rata KUA “kontraktor” berada di Jawa Barat bagian selatan seperti Kabupaten Sukabumi. Bukan hanya KUA ngontrak, KUA yang sudah memiliki gedung sendiri juga banyak yang sudah rusak. Tepatnya ada 71 KUA yang kondisinya rusak ringan dan 48 KUA rusak parah.Soal dana pembangunan menjadi alasan klasik. Bantuan rehabilitasi gedung KUA dari Depag pusat amat terbatas sehingga hanya sembilan KUA yang direhab setiap tahunnya. Depag pusat juga baru mengalokasikan anggaran untuk pembangunan gedung KUA baru sebanyak 13 buah. Jadi, kalau hanya dari anggaran Depag pusat butuh waktu 10 tahun agar 129 KUA yang “kontraktor” memiliki gedung sendiri. Tapi, waktu 10 tahun itu juga dibarengi dengan rusaknya gedung KUA-KUA lainnya sehingga bisa-bisa ada berita gedung KUA roboh layaknya gedung SD.Teras asing apabila suatu saat ada berita “Robohnya KUA Kami” di media ini. Bahkan, bisa saja terjadi ada berita “Tak Bisa Bayar Kontrak, KUA Terdepak”. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Sorotan Agama
Nasib Ormas Islam
Ternyata ada hubungan sangat erat antara Persib dan ormas-ormas Islam. Lho, bukan kah Persib di lapangan bola, sedangkan ormas-ormas Islam di lapangan dakwah dan sosial kemasyarakatan?“Kalau Persis memang klub sepak bola. Tapi, Persis bukan Persatuan Islam melainkan ‘Persibnya’ Solo,” kata teman saya sembari ngakak.Hubungan senasib antara Persib dan ormas-ormas Islam berkaitan dengan keluarnya Permendagri No.13/2006. Isinya pemerintah daerah diharamkan menyalurkan bantuan rutin setiap tahun kepada lembaga di luar perangkat daerah. Tentu keluarnya Permendagri tersebut ibarat petir di siang bolong sehingga sejumlah ormas Islam menyesalkan keluarnya permendagri. Padahal, peran ormas-ormas Islam selama ini cukup strategis dan signifikan untuk mendorong dan membantu pelaksanaan program-program pemerintah.Seperti dikemukakan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persis, KH. Shiddiq Amien dan Ketua Umum PC NU Kota Bandung, KH. Maftuh Holil.Menurut Ustaz Shiddiq, terancamnya penghentian bantuan ormas-ormas Islam dari APBD hanya satu di antara puluhan dampak PP 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan Permendagri 13/2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Mulai 2008 mendatang segala jenis bantuan rutin ke organisasi di luar pemerintahan bisa terhenti.Bantuan yang terancam terhenti mulai dari bantuan pada KONI, bantuan sosial keagamaan, bantuan ke panti asuhan, dan bantuan sosial kemasyarakatan. Termasuk juga bantuan organisasi kepemudaan, kewanitaan, profesi, dan ormas Islam.Bisa dimaklumi kekhawatiran itu karena ormas-ormas Islam dominan mengandalkan bantuan APBD provinsi maupun kabupaten/kota. Ibaratnya simbiosa mutualisma karena ormas-ormas Islam sudah memberikan bantuan melalui pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain hingga wajar dibantu,” kata Kiai Maftuh.Besaran bantuan pemerintah kepada ormas-ormas Islam bahkan miliaran rupiah tiap ormasnya. Seperti MUI Kab. Bandung sampai di atas Rp 5 miliar karena bantuannya mengalir dari MUI kabupaten, kecamatan, sampai desa.Demikian pula dengan ormas tingkat Jawa Barat seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Persatuan Umat Islam (PUI), Mathlaul Anwar, Dewan Masjid Indonesia (DMI), Syarikat Islam, Badan Amil Zakat (BAZ), dan lain-lain memperoleh kucuran APBD. Ormas Islam di tingkat Jawa Barat memperoleh bantuan antara Rp 300 juta sampai Rp 700 juta/tahun.Bagaimana dengan iuran anggota dari kader ormas? Kalau masalah ini ditanyakan, maka pengurus ormas Islam akan menjawabnya iuran anggota tidak berjalan baik. Kalau pun berjalan jumlahnya amat kecil lalu harus dibagi-bagi antara pengurus tingkat kecamatan dan kabupaten/kota.Salah satu jalan agar ormas-ormas Islam mandiri adalah dengan mengajaknya berwirausaha atau Muhammadiyah menyebutnya amal usaha. Persis sudah memiliki toko emas, kebun kelapa sawit di Sumatera, dan saham di air mineral yang hasilnya bisa menutupi operasional pengurus pusat.Karena Permendagri melarang pemberian bantuan setiap tahun kepada ormas, maka pemerintah bisa memberi modal usaha.Bisa buka usaha sendiri atau kerja sama, tapi syaratnya harus berhasil. Sanggup pak kiai atau pak ustaz menangani usaha? Wallahu-a’lam***
Tulisan Ringan
Komputerisasi MTQ
PENILAIAN dewan hakim menjadi sorotan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Jabar dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi setelah dua tuan rumah yakni Kab. Garut (2005) dan Kota Bekasi (2006) menjadi juara umum, maka muncul suara-suara sumbang. “Ada ‘udang’ apa di balik MTQ?”Menjelang pelaksanaan MTQ Jabar pada Maret ini muncul gagasan baru sebagai upaya “menjernihkan” masalah penialaian dewan hakim. Lagi-lagi teknologi diminta bantuan yakni dengan komputerisasi penjurian seperti diakuiSekretaris Lembaga Pengembagangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jabar, Drs.H. Dien Ucu Syihabuddin.Ya, apabila rencana komputerisasi itu terwujud, maka sebuah babak baru sekaligus keberanian panitia. “Dewan hakim MTQ juga manusia” sehingga diharapkan dengan pemakaian teknologi canggih tersebut bisa mengurangi dugaan “penyimpangan” yang dilakukannya.MTQ di Cirebon akan memperlombakan tujuh cabang dengan 38 golongan baik putra maupun putri. Cabang MTQ adalah tilawah, tafsir, tahfiz, syarhil, khat, menulis kandungan isi Alquran (M2KQ), dan fahmil. Khusus cabang kasidah pada tahun 2007 ini akan dihilangkan karena kasidah mengadakan sendiri perlombaannya dalam bentuk festival kasidah. Komputerisasi penilaian akan dipergunakan di semua cabang dan golongan sehingga warga masyarakat bisa mengetahui hasil penilaian dewan hakim. Teknisnya, penilaian masing-masing dewan hakim dimasukkan dalam komputer lalu terpampang di layar lebar, big screen. Kalau ada seorang anggota dewan hakim yang memberikan nilai tidak wajar pasti terlihat.Bahkan, arena utama MTQ di depan kantor Pemkab Cirebon akan terpasan komputer on-line sehingga proses penilaian tiap-tiap golongan lomba bisa terpantau. Masyarakat bisa memberikan masukan atas kinerja dewan hakim melalui kotak pengaduan yang disediakan panitia.Masalahnya teknis penilaian oleh dewan hakim sampai kini belum disepakati karena penilaian MTQ mengenal tiga cara. Pertama, penilaian MTQ bisa dengan akumulasi yakni nilai tiga dewan hakim dijumlahkan lalu dibagi tiga. Misalnya, hakim A memberi nilai 22, hakim B 25, dan hakim C 27 sehingga jumlahnya menjadi 74 lalu dibagi tiga sehingga nilainya menjadi 24,6 atau dibulatkan 24.Kedua, penilaian dengan sistem tambah dan kurang apabila rentang nilai masing-masing dewan hakim lebih dari tiga poin. Ketiga, dengan cara mencari nilai tengah misalnya hakim A 23, hakim 25, dan hakim C 27 sehingga nilai yang diambil adalah 25. Selama ini MTQ memakai sistem tambah dan kurang misalnya hakim A menilai 23, hakim B 25, dan hakim C 27 sehingga antara hakim A dan C terdapat selisih di atas tiga poin. Akhirnya nilai hakim A ditambah menjadi 24 dan nilai hakim C dikurangi menjadi 26.Persoalan lainnya dengan kemampuan dewan hakim untuk mengoperasikan komputer karena sebagian besar dewan hakim berusia sepuh dan tidak bisa “main” komputer. Akibatnya bisa ditebak alat canggih pun tidak dimanfaatkan.Secanggih apa pun alat yang utama adalah sikap dan perilaku dewan hakim sendiri. Jangan sampai karena “amplop setitik” rusak “MTQ semuanya”. Wallahu-a’lam.*** (Sarnapi)