Kamis, 13 Maret 2008

Pengarusutamaan Jender

DALAM sebuah pembicaraan santai, penulis melontarkan pertanyaan kepada seorang teman dari Tegal, Jawa Tengah, karena sama-sama warteg (warga Tegal). Ada yang menyebut Ortega (orang Tegal asli) dan di Soreang dikenal Abrag (anak Bandung rantauan dari Tegal). “Sakiye lagi ramai-ramaine masalah jender. Dingin arane kesetaraan gender, tapi saiki pengarusutamaan jender. Arep ana apa maning ya? (sekarang sedang ramai-ramainya masalah jender. Dulu disebut kesetaraan gender, tapi sekarang pengarusutamaan jender. Mau ada apa lagi ya, red),” kata penulis.Tiba-tiba ia langsung nyeletuk. “Mas, gender iku sing ning gamelan. Memang rika bisa nabuh gamelan?” (Mas, gender itu yang ada di gamelan. Memang kamu bisa memainkan gamelan?, red).Kebingungan yang sama dialami penulis ketika beberapa kali mengikuti seminar perempuan. Rata-rata seminar mereka berjudul “pengarusutamaan jender”. Bahasa apa lagi pengarusutamaan? Awalnya hanya menulis berita apa adanya disertai dengan kebingungan dan rasa penasaran. Setelah bertanya ke beberapa orang ternyata pengarusutamaan merupakan padanan kata dari “mainstream”. Oh gitu toh! Terkesan aneh dan nyeleneh.Nah, soal jender ini suara-suara wanita makin nyaring apalagi setelah ada Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI). Memang dari data Indonesia menduduki peringkat 89 dalam keterwakilan perempuan di legislatif, padahal Afganistan dan Vietnam di urutan 24 dan Singapura ke-66.Bahkan, dengan negara Timur Tengah yang sering diidentikkan dengan “pengharaman” wanita berpolitik ternyata peringkat Indonesia masih di bawah. Namun, peringkat Indonesia lebih baik daripada Malaysia di nomor 103, Jepang 104, dan India 108 Rendahnya keterwakilan perempuan salah satunya disebabkan tidak adanya sanksi bagi partai yang melanggar aturan kuota 30 persen perempuan di legislatif. Realitas politik Indonesia menunjukkan 53 persen pemilih dari kalangan perempuan, namun keterwakilan perempuan di DPR baru 10,7 persen. Sedangkan perempuan di DPRD provinsi 9 persen dan DPRD kabupaten/kota 5 persen, namun di DPD lebih baik mencapai 21 persen. Tapi, sekali lagi pertanyaannnya apakah dengan “bejibunnya” wanita di parlemen akan menaikkan kesejahteraan wanita dan masyarakat pada umumnya?Partai politik juga sering “menggembirakan” perempuan dengan menempatkan banyak calon anggota legislatif, namun di nomor sepatu atau nomor buncit. Namun, jangan sampai kesejahteraan wanita “di-nomor sepatu-kan” atau “di-nomorbuncit-kan” karena rata-rata wakil perempuan di DPR. DPRD maupun DPD lebih banyak “diam adalah emas”. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: