Kamis, 13 Maret 2008

Khitanan Perempuan

NUANSA khitanan massal di Yayasan Assalaam, Jln. Sasakgantung, pada pertengahan April lalu, sungguh berbeda. Peserta khitanan massal yang berjumlah 150 anak semuanya anak laki-laki, sedangkan peserta perempuan tidak nampak.Ada apa den gan Assalaam? Apakah sudah berubah 180 derajat? Tradisi khitan massal perempuan sudah berlangsung sejak tahun 1948 dan tak pernah terputus sama sekali meski di zaman perjuangan fisik membela tanah air.Ketua Yayasan Assalaam, KH. Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus, yang ditemui juga menyiratkan wajah kecewa yang mendalam. “Mau ibadah kok dilarang. Dalam kajian kitab kuning khitan perempuan masuk kategori sunah bahkan sebagian ulama mewajibkannya,” ujarnya.Setelah diselidiki ternyata penghilangan khitan perempuan tak lepas dari tekanan Population Council (Badan Kependudukan Dunia) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan membuat. Khitanan perempuan dinilai melanggar HAM apalagi Indonesia sudah meratifikasi ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang melarang khitan perempuan.Sebagai dampak dari tekanan itu, maka pada khitanan massal baru-baru ini Assalaam hanya menerima anak laki-laki. Ada warga masyarakat yang membawa anak perempuannya untuk dikhitan, tapi tahun ini ditolak. Padahal, setiap tahun jumlah anak perempuan yang dikhitan hampir dua kali lipat daripada anak lelaki.Dalam kajian fiqhiyah, khitanan perempuan terjadi pro kontra di antara ulama. Namun, secara garis besar pendapat ulama soal khitan bagi perempuan terbagi menjadi tiga kelompok yaitu yang mewajibkan, sunah, dan kehormatan (mubah). Bagi Assalaam meyakini dengan perempuan dikhitan akan mengurangi perilaku negatif dan membendung nafsu seksual yang berlebihan. Apabila perempuan belum dikhitan juga sulit untuk bersuci dari najis layaknya anak laki-laki.Tentu, kajian fiqhiyah dari Assalaam yang menyetujui khitan perempuan harus pula “dilawan” dengan kajian fiqhiyah pula. Tentu mereka akan “mengalah” apabila ada pendapat yang lebih kuat. Bukan dengan memvonisnya khitan perempuan tidak manusiawi dan melanggar HAM.Larangan khitanan perempuan juga jangan sampai dari ketakutan kepada kebijakan negara-negara Barat yang notabene menjadi “donatur” bagi Indonesia. Dalam masalah ibadah yang diyakini seharusnya pemerintah dan masyarakat Indonesia lebih takut kepada Allah daripada kepada negara-negara luar.Seminggu lalu penulis mengkhitan anak kedua usia 34 hari di seorang bidan yang berjalan hanya beberapa detik dan anaknya tidak menangis sama sekali. Apakah tindakan penulis melanggar HAM perempuan? Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: