Kamis, 13 Maret 2008

Sorotan agama (2)
KUA Kok “Kontraktor”
KALAU menyebut nama Kantor Urusan Agama (KUA), maka terbayang dalam benak kita adalah tempat untuk mengurus pernikahan. Padahal KUA adalah “Depag mini”, tapi fungsi-fungsi lainnya seperti pembinaan haji, makanan halal, keluarga sakinah, dan lain-lain “ditenggelamkan” oleh nikah.Keluhan utama warga masyarakat terhadap KUA umumnya berkisar pada besaran biaya nikah khususnya nikah bedolan. Istilah bedolan karena pihak penghulu (juru nikah) “dibedol” atau “diambil” dari kantornya untuk menikahkan di tempat resepsi sang mempelai.Kalau melihat Perda nikah bedolan, maka biaya nikah amat terjangkau karena di Kab.Bandung sebesar Rp 185.000,00, Kota Cimahi Rp 175.000,00, bahkan Kota Bandung “hanya” Rp 75.000,00! Tapi, mengapa biaya nikah bedolan melonjak sampai Rp 300.000,00 bahkan Rp 500.000,00?Bila masyarakat ingin biaya nikah murah, maka minta lah nikah di gedung KUA sebab biayanya hanya Rp 30.000,00. Bahkan, kalau tidak mau keluar uang sepeser pun ikut lah nikah massal bahkan pengantin diberi berbagai hadiah oleh penyelenggara nikah massal!Soal fulus nikah ini tak lepas dari biaya-biaya di luar Perda nikah bedolan. Misalnya, keluarga mempelai ingin beres saja sehingga urusan surat-surat izin nikah diurus penghulu. Belum lagi dengan biaya transportasi penghulu, honor bagi Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) atau lebai, dan lain-lainTerlepas dari fungsi nikah itu, kondisi gedung KUA kecamatan di Jawa Barat juga masih memprihatinkan. Kondisi KUA hampir setali tiga uang dengan SD-SD Inpres bahkan ada 129 KUA yang gedungnya masih ngontrak.Maka, wajar apabila Kabid Urusan Agama Islam (Urais) Kanwil Depag Jabar, Drs.H. Abdul Azis Fasya, menyebut banyak kepala KUA di Jawa Barat yang menjadi “kontraktor”. Kepala KUA harus mencari gedung atau rumah penduduk untuk dikontraknya!Rata-rata KUA “kontraktor” berada di Jawa Barat bagian selatan seperti Kabupaten Sukabumi. Bukan hanya KUA ngontrak, KUA yang sudah memiliki gedung sendiri juga banyak yang sudah rusak. Tepatnya ada 71 KUA yang kondisinya rusak ringan dan 48 KUA rusak parah.Soal dana pembangunan menjadi alasan klasik. Bantuan rehabilitasi gedung KUA dari Depag pusat amat terbatas sehingga hanya sembilan KUA yang direhab setiap tahunnya. Depag pusat juga baru mengalokasikan anggaran untuk pembangunan gedung KUA baru sebanyak 13 buah. Jadi, kalau hanya dari anggaran Depag pusat butuh waktu 10 tahun agar 129 KUA yang “kontraktor” memiliki gedung sendiri. Tapi, waktu 10 tahun itu juga dibarengi dengan rusaknya gedung KUA-KUA lainnya sehingga bisa-bisa ada berita gedung KUA roboh layaknya gedung SD.Teras asing apabila suatu saat ada berita “Robohnya KUA Kami” di media ini. Bahkan, bisa saja terjadi ada berita “Tak Bisa Bayar Kontrak, KUA Terdepak”. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: