Kamis, 13 Maret 2008

Fatwa Trafficking

TAK jarang muncul anggapan kalau ajaran Islam tak bisa menjawab tantangan zaman, terlalu kaku sehingga tidak bisa menjadi solusi. Jawaban terhadap “gugatan” itu seharusnya bisa dimainkan oleh ormas-ormas Islam apalagi memiliki lembaga khusus.Seperti Nahdlatul Ulama (NU) dengan “bahtsul masail” (pembahasan masalah), Persis dengan “Muhabatsah” (pembahasan juga), Muhammadiyah oleh Majelis Tarjih, dan lain-lain. Sayangnya lembaga-lembaga itu jarang digunakan sehingga fatwa yang keluar lebih banyak dari individu kiai/ustaz melalui pengajian atau ceramah sehingga kurang mendalam dan tak mewakili suara ormas.Salah satu “bahtsul masail” yang cukup menarik saat Pengurus Cabang (PC) NU Kota Bandung mengeluarkan fatwa pengharaman praktik penjualan anak dan wanita (trafficking) dan adopsi sebagai anak kandung. Tapi, saat membahas hukum Alquran bergambar terjadi debat panjang antarkiai sehingga akhirnya ditunda dan diserahkan ke PW NU Jabar.Pimpinan sidang, KH. Lukman Hakim yang juga wakil sekretaris Syuriah PC NU Kota Bandung, mengakui Alquran bergambar sudah banyak beredar di masyarakat dengan menuliskan ayat-ayat, peta, kartun ilustrasi, maupun cerita. Alim ulama mengkhawatirkan dengan adanya gambar maupun ilustrasi akan mengurangi kesakralan Alquran karena bisa saja kertasnya dipakai untuk pembungkus atau diletakkan di mana saja.Nah, hukum trafficking sebanyak 21 ulama yang hadir sepakat untuk mengharamkannya bahkan dengan alasan darurat sekali pun. Orangtua, masyarakat, bahkan korban trafficking tidak bisa menggunakan alasan darurat seperti krisis ekonomi untuk melakukan trafficking. Menurut alim ulama trafficking belum masuk masalah darurat yang bisa diperbolehkan hukum syara.Bahkan, PC NU Kota Bandung memasukkan trafficking sebagai perbudakan gaya baru, padahal ajaran Islam untuk membebaskan perbudakan. Tentu semua ormas berkepentingan dengan masalah trafficking apalagi NU yang basisnya di pedesaan yang sering menjadi korban trafficking.Sedangkan hukum adopsi, alim ulama sepakat mengharamkan praktik adopsi yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung. Dalam praktik sehari-hari ternyata Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mengeluarkan akte kelahiran atau surat lainnya yang menyatakan anak angkat sebagai anak kandung. Misalnya, Ahmad bin Hambali, padahal Ahmad adalah anak angkat bukan anak kandung Pak Hambali.Dampaknya anak angkat nantinya mendapatkan bagian dari warisan dan orangtua angkat menjadi wali saat anak angkatnya menikah. Padahal, saat Nabi Muhammad masih hidup pernah “dimarahi” oleh Allah akibat menyebutkan seorang anak angkat dengan nama bin Muhammad.Alim ulama membolehkan anak angkat dijadikan anak kandung, tapi anak itu masih kecil dan ditemukan di jalan tanpa mengetahui nama kedua orangtuanya. Namun, ketika nikah maupun membagi warisan statusnya tetap sebagai anak angkat bukan anak kandung. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: