Kamis, 13 Maret 2008

Nasib Wong Alit

WAJAHNYA kerap tertunduk. Kerut-kerut ketuaan nampak jelas terlihat. Pria yang akrab disapa Engking (71) ini nampak tegar menghadapi kenyataan cukup pahit yang harus dihadapinya.“Kondisi ekonomi sekarang sungguh susah bagi kami yang pernah berjuang membela bangsa dari tahun 1950 sampai 1960-an,” katanya.Engking ditemui setelah menggelar silaurahmi dengan purnawirawan TNI, warakawuri, dan janda pejuang di rumah Ny. Lala, Desa Campaka Mulya, Kec. Cimaung, Kab. Bandung, belum lama ini. Rekan-rekan Engking yang senasib juga mengungkapkan hal sama.Pejuang bangsa seperti Engking pernah merasakan pahit dan manisnya perjuangan dari mulai memberantas PRRI/Permesta di Sumatera, Kahar Muzakar, sampai berjuang membebaskan Irian Barat melalui Trikora. Hanya, setelah pensiun dari TNI Engking degan malu-malu mengungkapkan jumlah pensiunnya yang hanya Rp 900.000,00/bulan. Bahkan, teman-teman Engking yang sudah ditinggalkan suaminya hanya mendapatkan “warisan” Rp 500.000,00/bulan. Akibat membutuhkan uang dalam jumlah besar seperti menggelar hajatan, maka para pejuang bangsa terpaksa berutang ke bank sehingga uang pensiunnya tinggal separuh bahkan menyisakan ribuan rupiah saja.Di lain pihak, beban hidup makin berat karena harga beras masih di atas Rp 6.000,00/kg sehingga dirasakan mereka sudah amat mencekik leher. Kehidupan yang makin sulit membuat tidak sedikit para pensiun tentara, warakawuri, maupun janda pejuang yang terjerat rentenir. Ketika awal bulan yang mengambil pensiunan ya rentenir. Istilahnya, setiap bulan terkena “penyakit struk” yakni menerima “struk gaji”, sedangkan uangnya sudah diembat rentenir.Nasib memprihatinkan tersebut juga menimpa mantan atlet, mantan PNS, dan mantan-mantan lainnya. Karena tak kuasa menghadapi hidup, maka beberapa minggu lalu media massa ramai memberitakan seorang juara tinju yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.Tentu Engking dan “para mantan” serta wong alit (rakyat kecil) lainnya hanya bisa mengharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib rakyat kecil termasuk pensiunan tentara dan warakawuri yang pernah berjasa untuk negara. Dalam pandangan Engking yang hidup di desa, pemerintah sekarang ini lebih mementingkan politik, sedangkan nasib rakyat kurang peduli. Maka, wajar apabila kebijakan pemerintah lebih condong ke politik sehingga masyarakat kurang diperhatikan. Bukan kah ada sebuah APBD kabupaten di Jabar berjumlah Rp 1,5 triliun, namun Rp 900 miliar habis untuk belanja pegawai dan DPRD yang jumlahnya kurang dari 40 ribu orang? Sedangkan penduduk kabupaten itu yang berjumlah 4 juta hanya kebagian Rp 600 miliar!Apabila keberpihakan alokasi anggaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota belum kepada belanja publik (masyarakat), maka wajar apabila terjadi kerusakan jalan, sekolah ambruk, pelayanan kesehatan tidak memadai, dan lain-lain. Sudah saatnya pemerintah lebih berpihak kepada masyarakat dan tekad ini tidak sebatas hiasan lidah atau “lem” pengikat ketika kampanye. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: