Kamis, 13 Maret 2008

PAUD dan PAUL

KETIKA menjadi “santri cilik” di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Nurul Huda, Desa Sidapurna, Kec. Dukuh Turi, Kab. Tegal, penulis terkesan dengan pengajaran ala Alm. Kiai Abdul Halim. Ia berperawakan tinggi besar dan suka bergurau di kelas dengan membawa mata pelajaran “aneh”.Misalnya, saat kelas III MDA, penulis yang masih kelas V SD diajar masalah haid, mengenal macam-macam darah haid, darah penyakit, cara mandi besar, dll dengan membahas kitab tipis berbahasa Jawa. Mungkin saat ini disebut pendidikan seks atau reproduksi sehat (?)Selain itu, penulis juga terkesan dengan perkataan Alm. Kiai Abdul Halim yakni “harus hati-hati memperlakukan orang yang sudah berusia lanjut karena sikapnya kembali seperti anak-anak”. Seperti suka rewel, minta dilayani, atau cepat tersinggung.Pada Rabu ini (13/6) merupakan hari lanjut usia (lansia) yang diperingati dengan perayaan khusus di Gedung Sate diawali dengan jalan kaki 1 Km dari sekretariat Lembaga Lansia Indonesia (LLI) Jabar di Jln. Teratai menuju Gedung Sate. LLI Jabar juga menyerahkan penghargaan kepada lima lansia berusia di atas 80 tahun yang masih aktif dan mandiri.Di mata Sekretaris LLI Jabar dan direktur RS Al Ihsan Baleendah, Prof. Dr. H. Iwin Sumarman, Sp.THT, KAI, lansia dibagi beberapa kelompok yakni pra lansia di atas 50 tahun dan lansia apabila usianya di atas 60 tahun. “Kalau lansia sudah pasti pernah merasakan waktu muda, tapi orang muda belum tentu bisa sampai ke lansia,” katanya tersenyum. Salah satu kelemahan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah adalah kurang memperhatikan “pembangunan” lansia. Minim bahkan tidak ada program pemerintah untuk menjadikan lansia yang sehat, mandiri, dan tetap aktif di masyarakat. Padahal, jumlah lansia di Jawa Barat di atas 5 juta orang dan akan melebihi jumlah balita dalam beberapa tahun ke depan. Kalau khusus anak ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tapi kepada lansia tidak ada Pendidikan “Anak” Usia Lanjut (PAUL)? Cakupan PAUD bisa formal yakni TK/RA dan non formal seperti Posyandu dan pembinaan anak-anak di masjid-masjid. Usia layanan PAUD juga dari sejak anak dilahirkan sampai usia enam tahun karena dianggap sebagai masa keemasan (golden age).Kalau pun ada PAUL sebatas pendirian panti jompo/panti wreda dengan dana dari Depsos dengan jaminan lahir batin 100 persen sampai lansia itu meninggal dunia. Tapi, bagi LLI Jabar lansia di panti jompo bukan termasuk lansia yang mandiri, produktif, dan aktif di masyarakatnya. Ketiadaan PAUL apakah dikarenakan “anak-anak” lanjut usia sudah kehilangan masa keemasannya? Bahkan, lebih tragis apakah habis manis sepah dibuang apalagi lansia kerap merepotkan sanak keluarganya? Padahal, setiap diri pasti akan menjadi lansia tidak mengenal jabatan, harta, maupun pendidikannya. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Wah, menarik tuh ide PAUL-nya. Sy juga suka kasihan sama ayah saya yg udah Golden Age tahap 2. hehehe.. Anak udah pd nyebar,jd beliau mencari kesibukan sendiri spt diskusi2, pengajian2, gang catur,dll. Tp,pengurus dan anggotanya yg sepuh2 itu doang. Klo dikompleksku lain lagi,bener2 di kelola bersama antara lansia dg karang taruna. Kegiatannya banyak: OR, ketrampilan (ibu2: masak,merajut,dll, pengajian, sampai kesehatan. Hmm..klo dikampungku ada remaja2 yg aktif spt di jkt, ayahku gak akan kesepian kalee..

Saifur Ashaqi mengatakan...

sebuah ide yang menarik untuk di follow up...