Kamis, 13 Maret 2008

Kiai dan Pilkada

ADA ungkapan bernada “heureuy” (guyon) dari Kabid Pekapontren Kanwil Depag Jabar, Drs. H. Sukanda Hidayat. Katanya, ada empat tipe kiai yakni kiai tutur, kiai tandur, kiai sembur, dan kiai catur.Kiai tutur merupakan tipe kiai kebanyakan yang senang berceramah di berbagai tempat, namun tidak memiliki garapan misalnya pondok pesantren. Kiai tandur menghabiskan waktunya di pesantren atau madrasah untuk membina para santri, namun amat jarang ceramah di luar.Tipe kiai sembur merupakan kiai yang suka memberikan “isim” (ajian) maupun tulisan dalam Bahasa Arab yang diyakini dapat memberikan sesuatu. Sedangkan kiai catur bisa jadi “menjual” bidak-bidak caturnya (baca, potensi umat) yang dimilikinya untuk kepentingan politik praktis atau mendapatkan bantuan dari partai politik.Salah satu hal krusial yang sering melibatkan kiai adalah pemilihan kepala daerah apalagi setelah pemilihan dari wakil rakyat (Pilkadawak) menjadi pemilihan langsung (Pilkada). Dampak pilkada menjadikan posisi kiai yang dekat dengan masyarakat dapat menjadi alat menggalang suara.Hanya, sampai saat ini peran ulama kurang diperhitungkan dalam penentuan calon gubernua/calon wakil gubernur maupun calon bupati/calon wakil bupati. Kalau pun ada ulama yang dimintai pendapatnya adalah ulama yang duduk di pengurus partai, sedangkan ulama di kampung-kampung kurang diperhatikan suaranya.Ketua Umum Persaudataan Mubalig Bogor, KH. Syaeful Sardi Djayadi, mengakui peran kiai dalam penentuan calon pemimpin daerah masih terpinggirkan. “Calon kepala daerah memang ditentukan partai politik. Tapi, seharusnya partai juga mendengar masukan-masukan dari berbagai pihak baik pegawai negeri dan swasta, perguruan tinggi, maupun ulama,” katanya.Keinginan ulama untuk lebih bisa menentukan calon pemimpin daerah masa depan bisa dimaklumi. Minimal, ulama harus salat istikharah dan hati-hati ketika berijtihad menentukan calon pemimpin.Apalagi, visi dan misi Jawa Barat diawali kata “Dengan iman dan takwa...” sehingga nuansa agamis perlu dikedepankan. Tentu kepala daerah kabupaten/kota maupun provinsi bukan hanya agamis, namun harus memiliki kreativitas dan jiwa wirausaha tinggi agar memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.Hanya, amat kita sayangkan apabila kiai-kiai menjadi tipe kiai catur. Kita berharap di tengah minimnya tokoh panutan di Indonesia bisa hadir tokoh panutan dari ulama. Seseorang yang paling takut kepada Allah, rendah hati, dan berakhlak baik. Itu lah ulama yang benar-benar ulama! Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***

Tidak ada komentar: